SEJARAH
ASAL
NAMA KAMPUNG (DESA) KULUR
Kampung Kulur, Kecamatan Tabukan Tengah, Kepulauan Sangihe
Menurut cerita
bahkan sejarah yang dikuatkan dengan banyak tanda-tanda alat bukti (fakta) yang
ada yang dapat dijadikan pegangan sesungguhnya, maka dapatlah cerita sejarah
tersebut dianggap satu kepastian.
Pada abad ke XIV datanglah 2 orang suami isteri yang datang
dari pegunungan Sahendarumang yang letaknya disebelah barat dari Kampung (Desa)
kulur. Tujuan kedua suami isteri itu adalah menuju sebelah timur pulau Sangir.
Kedua suami isteri tersebut bernama : “WAJI MEDELU” dan “SANGIANGKILA”.
Ketika keduanya sampai di pantai tujuan mereka, sang suami ialah WAJI MEDELU
telah meletakan sebuah batu sambil berkata : “ BATU KULUHE MAHENTUNGANG
MANTENGAH “, dan batu inilah yang dijadikan pegangan seterusnya. Batu ini masih dapat dipastikan
sampai sekarang, dimana letaknya batu tersebut
adalah di pantai Kulur, sekarang
ini dengan penuh kepastian bahwa pada abad ke – XIV itu di pantai Kulur sudah
ada penduduknya, sehingga nama Kampung (Desa) tersebut sampai sekarang ini
tetap menjadi nama pujaan dari setiap penduduk yang berasal dari Kampung (Desa) Kulur, dimana saja ia berada,
degan nama julukannya ialah : “KULUHE
MAHENTUNGANG MANTENGAH”, dan menjadi pegangan seterusnya adalah batu yang diletakan oleh WAJI MEDELU, dimana
batu tersebut sejak saat itu abad ke – XIV sampai dengan abad ke – XIX dipuja-puja
oleh penduduk Kampung (Desa) Kulur. Namun satu hal yang sangat disesalkan oleh
penduduk Kampung (Desa) Kulur sampai sekarang ialah batu tersebut telah
tertimbun dengan pasir akibat bencana alam pada tahun 1970 dan tambahan pula
batu tersebut tidak lagi dipuja-puja seperti dahulu, oleh karena keinsafan
penduduk didalam hal beragama, khususnya agama Kristen. Akan tetapi sampai
dengan saat ini nama “Kuluhe” ( Kulur ) tetap menjadi nama asalnya yang
masyhur, dengan semboyannya : “KULUHE PIA BENTANE TA I KATENTANG BAHARIA”
yang artinya : Kulur mempunyai dasar yang kuat, yang tak bisa ditinggalkan
begitu saja. Semboyan ini sejalan dengan sejarah Kampung (Desa) Kulur, dimana semboyan
ini sudah berusia kira-kira 500 tahun yang lalu dan sampai sekarang ini
digember-gemberkan oleh setiap penduduk yang berasal dari Kampung Kulur, baik
pria maupun wanita, tua ataupun muda, yang sangat menaruh perasaan cinta akan
tumpah darahnya.
Maka untuk
jelasnya semboyan itu dapat diartikan seluas-luasnya ialah : Kampung (Desa)
Kulur tidak mudah ditinggalkan ataupun dilupakan, karena Kulur mempunyai satu
dasar/fundamen besar dan kokoh, yang terpendam dalam hati sanubari setiap
penduduk Kampung (Desa) itu sendiri, yang pada hakekatnya yang didasarkan
dengan :
1.
Beristiadat dan bersusila yang halus.
2. Berkerukunan yang sehat
3. Berkerukunan didalam
kekeluargaan bertetangga.
4.
bermacam-macam kesenian serta tari-tarian adat dan lain-lain.
Berpaut dalam
kepercayaan yang sama terhadap “ TUHAN YANG MAHA ESA” dengan menganut agama
Kristen Protestan.
Didorong oleh rasa tanggung jawab serta perasaan cinta akan tumpah darah,
maka munculah seorang putera Kulur didalam melayani masyarakat dibidang
pendidikan kerohanian ialah almarhum “MIKEL MANUMPIL” yang bertugas sebagai penolong injil keluaran
Depok ( Jawa Barat ). Telah dapat menciptakan sebuah lagu dan lagu ini hingga
sampai pada saat ini tetap berkumandang ditengah-tengah masyarakat Kampung (Desa)
Kulur dan menjadi satu nyanyian pujaan yang bersastra dibawah ini :
Soang
Kuluhe Tengade Pia Bentane
Ta i
Katentang Baharia
Mamilului
dan Kahenesang
Ne
ta loara beda u Kuluhe
Arenge
i maka kondo
I
maka ta tempe elo.
Yang artinya
ialah : Dengan
sebenarya Kampung (Desa) Kulur mempunyai suatu dasar, dimana memang tak dapat
ditinggalkan begitu saja. Dataran tinggi mamilului dan dataran tinggi
kahenesang mengapit dataran rendah kulur, sehingga namanya sangat menarik hati
dan dapatlah mencucurkan air mata. Demikianlah arti dasar dari pada
nyanyian tersebut.
Sehubungan dengan adanya semboyan tersebut diatas ini yang asalnya dari
seorang yang tak asing lagi dan cukup dikenal dikalangan Suku Sangir dan Talaud
ialah “MAKAAMPO”, ketika ia meninggalkan Kampung/Desa Kulur. Lamanya
Makaampo tinggal di Kampung (Desa) Kulur dapatlah dipastikan kira-kira
pertengahan abad ke-XV.
Ketika Makaampo tinggal di Kampung (Desa) Kulur belumlah ada suatu badan
yang berbentuk pemerintahan. Oleh sebab itu Makaampo menetap agak jauh dari pantai Kulur di pedalaman
bernama Sele dan tinggal bersama-sama dengan seorang yang bernama “LINOGE” dan
“LAMA”. Setelah Makaampo tinggal beberapa tahun lamanya ia mendapat seorang
perempuan sebagai isterinya bernama “RAMPELUWUISE” ialah anak dari “WULELE”. Tiada berapa lamanya hubungan antara Makaampo
dan Rampeluwuise lahirlah seorang anak laki-laki yang dinamainya “MAKAKUHETING”.
Pada saat Makakuheting berusia setahun, maka timbulah didalam hati
Makaampo suatu niat untuk meninggalkan isteri dan anak. Akan tetapi maksud Makaampo
ini diketahui juga oleh sang isteri Rampeluwuise lalu diberitahukannya kepada
orang tua angkat dari Makaampo ialah Lonoge dan Lama. Sebagai rasa tanggung
jawab orang tua, Linoge menasihati dan mencegah akan maksud Makaampo tersebut.
Tetapi diluar dari pada dugaan, Makaampo menolak nasihat orang tua angkat
karena ia merasakan dirinya sebagai seorang yang gagah berani. Timbulah niatnya
untuk mengadu untung atau ingin mempertujukan keberaniannya kepada Linoge.
Linoge didalam hal ini merasakan, betapa seorang anak ingin melawan akan
orang tua, maka Linoge tak mau ditakuti oleh seorang yang berstatus anak.
Linoge mengambil keputusan untuk mengucapkan sastra merupakan
perkataan-perkataan kutuk atas diri Makaampo, karena itu juga Makaampo telah
berbuat tidak jujur dan ingin membunuh orangtua angkatnya atau isterinya. Makaampo disamping ia berniat untuk
meninggalkan atau membunuh isterinya dan orang tua angkatnya, dicari-carinya
suatu alasan untuk menjadi pokok perselisihan itu. Oleh Makaampo telah didapatinya rencana untuk membuang seekor anjing kesayangan kepunyaan Linoge, dan
rencana itu telah nyata, sewaktu air sungai Kampung (Desa) Kulur banjir, pada saat
itulah dihanyutkannya
anjing milik Linoge orangtua angkatnya.
Setelah
kejadian itu, Linoge dan Lama pergi mencari kembali anjing yang dihanyutkan
oleh Makaampo, setelah pencarian itu akhirnya anjing ditemukan kembali oleh
Linoge dan Lama. Makaampo diusut, membalikan keadaan yang sebenarnya dan
menuduh yang menghanyutkan anjing itu bukanlah dia melainkan kedua orang tuanya
itu. Karena persoalan itu memanglah sudah direncanakan untuk membunuh anjing
tersebut.
Rencana Makaampo ini telah diketahui oleh orang tua angkatnya, maka Linoge orang
tua angkatnya mengucapkan sastra kutuk terhadap Makaampo.
Makaampo yang sikeras kepala itu menjawab/membalas pula akan Sastra dari
pada Linoge dengan maksud menentang akan sastra dari pada Linoge. Tambahan
pula, karena kemauan dan kemarahan Makaampo meluap-luap diucapkannya sastra
yang berbunyi :
“KULUHE PIA
MOLENE TA I KASAPING BAHARIA” yang artinya di Kampung Kulur mempunyai orang –
orangnya yang berani yang tak gampang ditakut-takuti atau dikalahkan maupun
ditaklukan. Maka pergilah Makaampo meninggalkan Kampung (Desa) Kulur dan menuju
sebelah utara pulau Sangir, sambil ia berpesan kepada isterinya dengan penuh
penyesalan dan iba hatinya katanya : “KULUHE PIA BENTANE TA I KA TENTANG
BAHARIA” dan inilah kata-kata yang mengartikan suatu penyesalan kepada anak dan
isterinya. Dengan pengertian serta penjelasan yang singkat diatas dan dengan
lahirnya semboyan tersebut, maka itu adalah menjadi suatu kata-kata pusaka yang
menjiwai dan telah mendarah daging tubuh setiap penduduk Kampung (Desa) Kulur,
dan juga kepada generasi muda dimasa-masa yang akan datang.
Penulis : Roland D.Tampilang. A.Md.Pi
Sumber : Catatan Sejarah Kampung Kulur, Oleh Thiodorus Lahama, (1933)
Mantap yakang
BalasHapusKase bue����
BalasHapus